SUMENEP | DEMARKASI.CO – Dunia pers tanah air kembali terguncang pasca beredar klarifikasi Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep, yang tersebar di sejumlah media online terbitan Rabu, 5 Juni 2024. Pernyataan kontroversial itu dilontarkan melalui Moch. Indra Subrata, SH., MH. selaku Humas atau Kasi Intel di institusi tersebut.
Lantaran kinerja Kejari Sumenep acap kali diberitakan miring, atas nama institusinya pria yang karib disapa Indra itu meminta terhadap media yang mengkritisi agar bertanggungjawab atas karyanya. “Untuk itu media yang menulis berita tersebut harus bertanggung jawab secara hukum,” kecamnya, dikutip nusainsider.
Bahkan secara gamblang dan sadar ia pun mengancam, bahwa institusi Kejari Sumenep tempat dirinya mengais rejeki tersebut akan menempuh jalur hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemberitaan yang tidak sesuai kode etik jurnalistik.
“Kami (Kejaksaan Negeri Sumenep, red) akan melakukan langkah langkah hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemberitaan dari Media yang memberitakan tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik dan UU Pers yang dapat merugikan pihak Kejaksaan Negeri Sumenep,” ancam Indra.
Tidak sekedar ancaman, pejabat yang semestinya luwes ke pelaku pers itu disinyalir menyerukan himbauan menyesatkan. Dikalimatkan Indra dalam keterangan tertulisnya di berbagai media online, khalayak yang merasa dirugikan suatu pemberitaan dapat melapor ke Kejaksaan (Kejari Sumenep, red).
“Bagi Masyarakat yang juga merasa dirugikan atas pemberitaan media yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik serta Undang undang Pers dapat melaporkan ke Kejaksaan karena berdasarkan Undang undang No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pengawasan multimedia,” tukasnya.
Diterpa statemen tersebut, sontak sejumlah insan pers yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (DPC AWDI) Kabupaten Sumenep, pada Kamis, 6 Juni 2024 sekitar pukul 13:00 WIB, mendatangi kantor Kejari Sumenep ihwal pernyataan kontroversial itu. Namun Indra tak dapat dijumpai sebab tugas luar kota.
Kendati demikian, pernyataan Indra tersebut dinilai oleh sejumlah insan pers yang tergabung di DPC AWDI Sumenep adalah sebagai pernyataan yang tidak jelas alias ngawur dan terkesan menghakimi sebuah karya jurnalistik yang diterbitkan oleh perusahaan pers.
Menyikapi itu, Ketua DPC AWDI Sumenep, M. Rakib mengatakan, yang dapat menentukan sebuah produk berita tidak sesuai kaidah jurnalistik atau kode etik adalah dewan pers. Hal tersebut sudah tertuang sangat jelas dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pada pasal 15 ayat 2 huruf (b) sudah sangat jelas fungsi dari Dewan Pers adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik. Selain itu dewan pers juga mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa pemberitaan yang diadukan oleh masyarakat. Hal tersebut diatur di klausul berikutnya,” jelas Mahasiswa Fakultas Sosial dan Humaniora Prodi Hukum UTS tersebut, Kamis (6/6), saat bincang santai di Warkop Pusda.
Sedangkan pada Pasal 30B huruf e Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memang diberi kewenangan pengawasan multimedia. Tetapi dalam perundang-undangan tersebut, kata Rakib, tidak ada satupun klausul tentang kewenangan Kejaksaan untuk memproses pengaduan masyarakat terkait sengketa pemberitaan.
Sungguh naif sambungnya, apabila Pasal tersebut digunakan untuk mengantisipasi pemberitaan-pemberitaan negatif yang dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan. Dari itu dirinya meminta kejelasan kepada Kejari Sumenep terkait himbauan asal bunyi tersebut.
“Maka kami meminta kepada Kasi Intel selaku Humas Kejaksaan untuk memberikan penjelasan secara detail perihal maksud dan tujuannya menghimbau kepada masyarakat untuk mengadukan ke Kejari Sumenep apabila merasa dirugikan atas pemberitaan yang diterbitkan oleh insan pers di Sumenep,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Humas DPC AWDI Sumenep, Sudarsono turut menyoroti perihal klarifikasi dari Kejari Sumenep soal berita miring terkait kinerja oknum jaksa yang sering kali disampaikan oleh Kasi Intel Kejari Sumenep.
Menurut pria yang akrab disapa Endar itu, seharusnya klarifikasi atau hak jawab yang berkaitan dengan pemberitaan miring disampaikan kepada media atau wartawannya secara langsung, bukan hanya kepada media-media lain yang ditengarai selama ini menjadi media partner Kejari Sumenep.
“Kami sangat yakin, setiap media atau insan Pers yang ada di Sumenep ini menyediakan hak jawab kepada pihak yang diberitakan. Kurang etis apabila hak jawab terkait pemberitaan itu disampaikan kepada media-media lain. Kesannya kepada kami seolah-olah ingin mengadu domba antar media,” sesalnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, klarifikasi berita miring yang disampaikan kepada media lain itu merupakan alternatif terakhir. Hal demikian dapat dilakukan apabila perusahaan media yang merilis terdahulu tidak menerbitkan hak koreksi yang sudah dilayangkan dari pihak narasumber.
“Dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pasal 5 ayat 2 sudah sangat jelas disebutkan, bahwa Pers itu diwajibkan melayani hak jawab,” tambahnya.
Oleh sebab itu, kata Endar, ke depan dirinya berharap kepada Kejari Sumenep apabila terdapat kembali pemberitaan miring tentang institusinya tersebut, alangkah bagusnya memprioritaskan hak jawab ke media atau wartawan yang menulis terlebih dahulu.
“Dan jangan suka mengancam akan melakukan upaya hukum kepada wartawan yang menulis berita miring tentang kinerja Kejaksaan. Karena setiap wartawan tidak mungkin menerbitkan berita tanpa didasari data dari hasil investigasi di lapangan. Dan terbukti di Sumenep belum ada wartawan yang dipenjara gara-gara karya jurnalistiknya,” tandasnya.