Oleh: [M. Nadhim Ardiansyah]
Opini Demarkasi.co, Jakarta – Keputusan rapat harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) yang menegaskan otoritas tertinggi dalam struktur organisasi berada di tangan Rais Aam, disambut sebagai penegasan penting oleh M. Nadhim Ardiansyah, seorang petani milenial sekaligus kader muda NU. Bagi Nadhim, penegasan ini bukan sekadar formalitas organisatoris, melainkan penyangga moral yang memastikan NU tetap berjalan dalam rel kemaslahatan dan ketertiban.
Nadhim melihat keputusan tersebut sebagai isyarat kuat bahwa dinamika internal yang belakangan mencuat perlu ditata ulang. Ia berpandangan, ketika Rais Aam—sebagai pemegang mandat tertinggi keulamaan—telah memberi sinyal korektif, maka seluruh unsur jam’iyyah, termasuk Ketua Umum PBNU Gus Yahya, mesti tunduk pada mekanisme tersebut. Ketaatan struktural, di mata Nadhim, bukan soal kepentingan personal, melainkan soal menjaga marwah institusi yang selama ini menjadi rujukan umat.
Dari sudut pandangnya sebagai kader muda yang tumbuh di lingkungan pertanian dan pesantren, stabilitas NU adalah syarat mutlak bagi keberlanjutan gerakan kemandirian ekonomi warga, termasuk para petani milenial. Ketegasan Syuriyah, menurutnya, membuka ruang untuk meredam ketegangan dan mengembalikan fokus organisasi pada kerja-kerja sosial yang lebih besar.
Oleh karena itu, Nadhim Ardiansyah secara eksplisit mendesak agar Gus Yahya mempertimbangkan langkah mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU. Ia menilai, sikap legawa dalam momentum semacam ini justru akan memperkuat NU—bukan melemahkannya—sebagai bentuk penghormatan terhadap keputusan struktural dan demi kepentingan lebih luas bagi jam’iyyah.
Di tengah riuhnya perdebatan publik dan spekulasi yang rentan, seruan M. Nadhim Ardiansyah hadir sebagai suara kader akar rumput. Ia menekankan bahwa ketaatan pada Rais Aam adalah fondasi yang harus dijaga oleh setiap warga NU yang mencintai organisasinya, demi terwujudnya suasana jam’iyyah yang tetap tenang dan tertib.












