Sumenep | Demarkasi.co – Kasus dugaan adanya pemalakan dalam penerbitan Surat Pemberhentian Penyelidikan dan Penyidikan (SP3) kasus dugaan penipuan jual beli emas yang dilaporkan ke Mapolres Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tahun 2020 silam masih santer dibicarakan publik.
Hal tersebut lantaran bukan hanya satu atau dua pengusaha emas di Sumenep yang diduga menjadi korban pemalakan atas pelaporan kasus dugaan penipuan tersebut.
Hasil penelusuran media ini, ada empat pengusaha emas di Sumenep yang dilaporkan atas kasus yang sama ke Mapolres Sumenep.
Keempat pengusaha emas tersebut adalah Hj S, Hj N, HG dan HF (Inisial). Sementara pelapornya adalah BD dan IM.
Menyikapi hal tersebut, Advokat muda dari Lembaga Bantuan Hukum Forum Rakyat Pembela Keadilan dan Orang-Orang Tertindas (LBH FORpKOT), Zubairi Sajaka Amta, SH. mulai angkat suara.
Pengacara yang akrab disapa Zuber ini menyebut laporan kasus dugaan penipuan jual beli emas pada tahun 2020 itu ulah dari komplotan mafia hukum.
Alasannya, sebelum penerbitan SP3 kasus tersebut, terlapor ditekan uang puluhan juta hingga ratusan juta rupiah oleh pelapor.
“Dari beberapa bukti yang ada, jelas ada indikasi mencari keuntungan secara materi dalam kasus ini,” lanjut Zuber, Senin (05/12).
Alasan lainnya, ada indikasi keterlibatan oknum polisi dalam pusaran dugaan pemerasan kasus dugaan jual beli emas dengan modus pembayaran ganti rugi tersebut.
Dari beberapa data yang dikantongi FORpKOT dan awak media di DPC AWDI Sumenep dugaan pemerasan terhadap salah satu terlapor terjadi di ruang penyidik Satreskrim Polres Sumenep dan disaksikan oleh beberapa oknum polisi.
“Bila benar transaksi itu terjadi di Mapolres, itu berarti peristiwa tersebut menunjukkan dugaan pemerasan dengan modus ganti rugi itu massif dan terorganisir. Dan praktik-praktik seperti ini banyak dilakukan mafia hukum,” kata Zuber.
Sementara sampai berita ini dinaikkan belum ada keterangan resmi dari MD dan IM sebagai pelapor.
Sebab, MD dihubungi melalui telephone selulernya, Senin (05/12) panggilan dari awak media langsung ditolak.
Sementara IM tidak merespon meski dihubungi berkali-kali.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, perihal penerbitan Surat Pemberhentian Penyelidikan Dan Penyidikan (SP3) atas Laporan Polisi (LP) Nomor: LP/56/II/2020/JATIM/RES SUMENEP masih terus disorot oleh sejumlah anggota DPC AWDI Sumenep.
Pasalnya, sebelum kasus dugaan penipuan jual beli emas yang dilaporkan oleh warga Sumenep berinisiaL BD itu resmi di SP3, terlapor membayar uang puluhan juta rupiah sebagai ganti rugi kepada pelapor.
Padahal berdasarkan data yang dikantongi oleh DPC AWDI Sumenep, pelapor hanya mengalami kerugian maksimal sebesar 100 ribu rupiah. Namun pelapor meminta kerugian kurang lebih sebesar 60 juta rupiah kepada terlapor.
Ironisnya, dugaan pemerasan atau pemalakan terhadap salah satu pengusaha emas berinisial Hj S (terlapor) tersebut terjadi di ruang penyidik Satreskrim Polres Sumenep dan disaksikan oleh sejumlah oknum polisi.
Bahkan menurut sumber media ini, selain Hj S, sebelumnya sudah ada pengusaha emas yang diaporkan ke Polres Sumenep dengan kasus yang sama.
”Terlapornya ini adalah HF (inisial). Informasinya pelapornya adalah IM (inisial) yang diduga adalah kawan dari BD,” kata Sumber.
Kata sumber, ending proses hukum dari pelaporan terhadap HF ini sama dengan pelaporan terhadap Hj S. Bahkan dapat dikatakan lebih parah lagi dari Hj S.
Karena informasinya, HF dikemplang uang ganti rugi sebesar 200 juta rupiah oleh pelapor. Proses hukumnya juga tidak sampai ke pengadilan alias di SP3.
”Tapi kasus yang ini penyelesaian ganti ruginya terjadi di luar Polres,” imbuhnya.
Dilain sisi, Bripka Teguh Cahyanto, SH., saat audiensi dengan insan pers yang tergabung di DPC AWDI Sumenep menyampaikan bahwa penyelesaian secara kekeluargaan tersebut adalah permintaan dari terlapor.
”Kita hanya memberikan peluang kepada terlapor. Dan kesepakatan damainya terjadi di luar bukan di Polres,” katanya. (Bersambung).