Bangkalan | Demarkasi.co – Akhir-akhir ini, polemik jual beli seragam sekolah ramai dibicarakan, khususnya di Kabupaten Bangkalan. Salah satu sekolah yang mendapat atensi aktivis adalah SDN Pamorah, kecamatan Tragah. Bila merujuk pada regulasi, praktik itu jelas dilarang. Bahkan mengarah kepada Pungutan Liar (Pungli).
Larangan Jual beli seragam sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan. Selain itu, tertuang pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf (a) menyebut, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Aktivis Pusat Analisa Kajian Informasi Strategis (PAKIS), Yodika Saputra menyebut modus operandi jual beli seragam di beberapa sekolah di Bangkalan beragam. Seragam sekolah yang seharusnya diadakan mandiri oleh orang tua siswa, tetapi sekolah tetap saja punya dalih untuk menjualnya.
“Itu jelas salah dan menyalahi aturan,” Kata Yodika kepada media ini.
Yodika menambahkan, jual beli seragam itu tetap tidak dapat dibenarkan meskipun orang tua siswa meminta sekolah mengakomodir semuanya.
“Membeli seragam dari sekolah tetap tidak boleh. Aturan tidak terbatas pada mereka yang tidak terpaksa saja,” tegasnya.
Dia membeberkan, modus operandinya adalah sekolah menjual seragam secara tidak langsung dengan melibatkan koperasi dengan dalih untuk pengembangan lembaga melalui musyawarah.
“Sebagian besar koperasi di sekolah tidak berbadan hukum. Tujuannya memang hanya untuk pembelajaran siswa tentang koperasi,”
Menurut Yodika, tidak masuk akal apabila ada sekolah yang mengklaim koperasi dikelola oleh siswa secara keseluruhan. Apalagi, mereka menjual seragam.
Yodika menerangkan, salah satu modus untuk mengakali bentuk jual beli seragam dan sumbangan sekolah itu dengan melalui Paguyuban Orang Tua (POT) yang berisi perwakilan wali murid. POT sendiri memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan komite sekolah.
“Yang kami temukan, ya POT itu. Ini metode baru. Komite Sekolah sudah diatur dan POT ini yang belum diatur. Makanya kami harap ini bisa segera diatur, bukan dilarang. Biar mereka tidak bersinggungan dengan jual beli seragam atau bentuk sumbangan di sekolah,” paparnya.
Seperti yang dilansir pada klikku.net terkait dugaan praktik jual beli seragam, UPTD SDN Pamorah Tragah mengadakan pembelian seragam berupa satu stel batik dan kaos olahraga sebesar Rp. 230 ribu itu dari rincian Rp. 150 ribu untuk perstel batik dan Rp 80 ribu perstel kaos olahraga.
Kepala sekolah SDN Pamorah, Siti Nurjannah mengungkapkan, pihaknya sebelum melaksanakan pengadaan seragam untuk 130 siswanya yang penerima PIP sudah meminta komite untuk mengadakan sosialisai melalui edaran.
“Mulai tahun 2021 PIP sudah diambil sendiri. Yang punya ATM sudah dicairkan walaupun saya tidak tahu. Untuk tahun ajaran kemarin sudah disosialisasikan lagi, wali murid sudah saya kasih surat edaran tentang seragam sekolah,” Ungkap Nurjannah.
Dia mengaku sudah menjelaskan kepada wali murid bahwa PIP itu untuk kegiatan sekolah anak bukan untuk beli beras. Siswa yang mendapatkan PIP dipersilakan segera memesan seragam.
“Penjahit menyanggupi satu bulan, mungkin karena kendala akhirnya masih kaos saja, kemungkinan akhir Januari (Tahun 2023 ini, red) sudah selesai dengan batiknya, saya itu (pengadaan seragam siswa, red) tidak menekan,” jelasnya.
Dalam BOS kata Nurjannah saat menanggapi usulan wali murid menegaskan tidak ada anggaran untuk pembelian seragam siswa. Seragam itu, kata Nurjannah merupakan kebutuhan pribadi, karena itu aset yang tidak bisa diasetkan.
“Ada yang tidak dapat PIP mengajukan pembelian seragam itu juga berasal dari pengajuan wali murid. Saya itu prosesnya sudah sekitar dua hingga tiga bulan untuk persetujuan seragam itu. Harganya setelah saya konfirmasi pada penjahit dengan pembuatan kaos Rp 230 ribu, bagi para siswa yang tidak dapat PIP pengennya disubsidi tapi saya uang pribadi tidak punya. Tahun ini siswanya 274 yang dapat PIP 55% jumlahnya sekitar 130-an siswa, dan tolong klarifikasi bahwa pemungutan (Rp 50 ribu pada penerima PIP setiap pencairan, red) itu tidak benar,” kata Nurjannah.