Sumenep | Demarkasi.co – Mediasi antara pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) dan kelompok penolak beserta Pemerintah Desa (Pemdes) Gresik Putih, Kecamatan Gapura, terkait polemik penggarapan tambak garam di Desa Gresik Putih, yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep berakhir dengan kebuntuan.
Pasalnya, kelompok penolak bersikukuh tetap menolak penggarapan tambak garam di Dusun Tapakerbuy, Desa Gresik Putih dengan dalih yang akan digarap adalah laut.
Forum yang dipimpin oleh Kepala DPMPTSP Sumenep yang juga dihadiri langsung oleh Kepala BPN Sumenep itu berlangsung alot.
Sebab, ke-dua belah pihak bersikukuh dengan pendirian dan pemikirannya masing-masing.
Herman Wahyudi, SH., selaku ketua Tim Penasehat Hukum (PH) para pemilik SHM tidak menampik jika mediasi yang digelar oleh Pemkab Sumenep terkait polemik penggarapan tambak garam itu berujung dengan kebuntuan.
“Iya benar, mediasi tadi tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan ini,” ujarnya, Selasa (30/05).
Kata Herman sapaan karibnya, dalam mediasi tersebut pihak kelompok penolak tetap bersikukuh berpendapat jika kliennya akan mereklamasi laut menjadi tambak garam.
“Padahal klien kami akan menggarap lahannya sendiri bukan laut. Dasarnya yakni SHM, karena di dalam SHM milik klien kami itu jelas luas lahannya berapa dan batas-batasnya sampai dimana,” tambahnya.
Bahkan lanjut Herman, pihak dari BPN Sumenep tadi sudah menegaskan bahwa SHM milik klien kami legal. Apabila ada yang berpendapat bahwa tahapan-tahapan proses penerbitan SHM klien kami tidak prosedural atau cacat hukum silahkan diuji di pengadilan.
“Oleh sebab itu, kami berharap framing yang selama ini dibangun bahwa kami akan mereklamasi laut sebagai tambak garam segera dihentikan,” tegasnya.
Pengacara peradi ini juga menegaskan bahwa dalam persoalan penolakan penggarapan tambak garam ini kliennya telah mengalami kerugian ratusan juta.
“Excavator yang disewa oleh klien kami itu 800 ribu rupiah perjam. Kalau berbicara siapa yang dirugikan? klien kami yang dirugikan,” tegasnya.