Yogyakarta | Demarkasi.co – Skema pemulihan ekonomi melalui sejumlah agenda strategis kini mulai berangsur membaik. Meski begitu, saat ekonomi global mulai menguat, dunia dikejutkan oleh melambungnya harga migas akibat konflik Rusia-Ukraina yang berlangsung hingga sekarang. Melonjaknya harga migas dunia berdampak langsung terhadap Indonesia.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Front Pemuda Madura (FPM), Muchlas Samorano, dalam sambutannya membuka webinar bertajuk Bincang Energi 2022 di Yogyakarta pada Senin, (11/4) siang. Webinar melalui platform zoom dihadiri ratusan peserta dari beragam latar belakang.
Hadir sebagai pembicara pada kegiatan itu antara lain praktisi migas, Elan Biantoro, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Yapit Sapta Putra, dan pengamat dari Center for Energy Policy, M. Khalid Syeirazi. Webinar berlangsung meriah diikuti oleh ratusan peserta dari beragam latar belakang.
Menurut Muchlas, neraca perdagangan Indonesia terutama di sektor migas mengalami pembengkakan. Sebagai negara net importir, melambungnya harga migas dunia juga berdampak pada harga bahan makar minyak (BBM) dalam negeri, sehingga hari ini pemerintah melakukan skenario penyesuaian harga.
“Tekanan akibat tingginya harga minyak dunia sangat jelas dirasakan Indonesia. Konsekuensi yang kita lihat tidak hanya pada APBN dan neraca dagang, tetapi juga pada persepsi publik. Invasi Rusia-Ukraina dan belum siapnya transisi energi kita, memaksa pemerintah untuk mengatur penyesuaian harga BBM dalam negeri,” terang Muchlas.
Dijelaskan Muchlas, melambungnya harga minyak dunia menjadi tantangan tersendiri untuk Indonesia. Migas, kata dia, sebagai komoditi vital proses produksi industri dan pembangunan ekonomi masyarakat, mesti terjamin ketersediannya dari hulu hingga hilir.
“Tantangannya, pemerintah melalui PT. Pertamina mesti komitmen menjaga ketersediaan dan penyaluran BBM hingga ke pelosok negeri. Penyesuaian harga BBM bagi Saya keputusan yang rasional dengan beberapa pertimbangan, seperti krisi geopolitik dan beban keuangan negara,” jelas Muchlas.
“Penyesuaian harga BBM secara selektif itu memang hanya berlaku untuk BBM Non-Subsidi yang dikonsumsi hanya 17% masyarakat Indonesia. Sementara harga BBM Subsidi yang dikonsumsi bahkan 83% masyarakat Indonesia ditetapkan stabil. Bahkan kenaikan harga ini masih di bawah nilai keekonomian,” lanjut dia.
Penyesuaian harga BBM, kata Muchlas, dalam rangka untuk menekan pembengkakan keuangan APBN melalui kost subsidi. Menaikkan harga ecer BBM Non-Subsidi juga keputusan yang tepat untuk menekan potensi inflasi dan daya beli masyarakat. Menurutnya, keputusan pemerintah sudah tepat dan paling masuk akal.
Anggota Komite BPH Migas, Yapit Sapta Putra, mengapresiasi kegiatan ilmiah FPM tentang migas. Menurutnya, FPM dan simpul organ lainnya harus mnejadi corong masyarakat untuk menjelaskan dan sosialisasi pengelolaan migas dalam negeri, dari hulu hingga hilir. Lanjut Yapit, BPH Migas sejak awal dibentuk dalam rangka menjamin distribusi dan ketersediaan migas Dalam Negeri, karena itu dia berharap kelompok pemuda dan masyarakat bisa saling kolaborasi dan kontribusi.
Sementara itu, dijelaskan Elan Biantoro, dengan tidak menaikkan harga BBM Subsidi di tengah gejolak harga minyak dunia yang tinggi, PT. Pertamina sudah suffering. PT Pertamina, bagi Elan, sudah membela rakyat, karena kenaikan BBM Non-Subsidi bahkan di bawah harga keekonomian sebenarnya masuk kategori no issue.
M. Khalid Syeirozi juga menyinggung, demi menjaga truth masyarakat, PT Pertamina juga telah memberikan subsidi terhadap harga BBM di luar subsidi pemerintah. Secara aturan mekanisme ketatanegaraan, hal tersebut dianggap kurang tepat. Tetapi, lanjutnya, itulah prinsip efisiensi berkeadilan yang pelan-pelan diterapkan oleh pemerintah melalui Pertamina.