Jakarta | Demarkasi.co – Aksi demonstrasi, utamanya oleh kalangan mahasiswa, digelar beruntun di hampir semua daerah di Indonesia. Protes tersebut sebagai respon atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu. Ratusan orang dari bermacam almamater kampus sepakat menolak penyesuaian harga BBM subsidi oleh pemerintah.
Menyoroti aksi itu, Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia, Asip Irama, menyangsikan aksi unjuk rasa oleh mahasiswa tersebut memihak rakyat. Pasalnya, berdasarkan data yang dihimpun, subsidi energi ternyata belum sepenuhnya tepat sasaran. Subsidi itu juga kurang efektif menurunkan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia.
“Subsidi BBM, misalnya, juga banyak dinikmati oleh orang mampu dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Berdasarkan data Susenas 2020, jenis BBM Pertalite lebih banyak dinikmati masyarakat mampu,” ungkap Asip dalam sambutannya saat membuka kegiatan Webinar Nasional yang digelar HAM Indonesia pada Kamis (15/9) sore.
Menurut Asip, sebanyak 40 persen kelas bawah menikmati 20,7 persen dari total konsumsi, sementara 60 persen kelas atas menikmati hampir 79 persen dari total konsumsi. Data tersebut menunjukkan bahwa subsidi energi sejak awal memang tidak tepat sasaran dan membebani APBN.
“Skema untuk mengganti subsidi BBM dengan subsidi lain yang langsung dirasakan masyarakat, saya kira sudah tepat. Lagipula, penikmat subsidi BBM terbesar justru adalah orang mampu. Pertanyaannya, mahasiswa yang melakukan aksi protes kenaikan harga BBM subsidi itu sedang membela siapa?” terang Asip.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Aktivis Milenial Indonesia, Muchlas Samorano, melihat demonstrasi penolakan harga BBM adalah aksi reaktif. Menurutnya, belum ada kajian komprehensif yang memuat data sahih dibawa dalam tuntutan aksi protes tersebut.
“Mereka menolak kenaikan BBM subsidi yang justru 70 persen lebih konsumsinya dinikmati oleh masyarakat mampu. Pertanyaan sederhananya, mereka protes demi kepentingan siapa? Rakyat yang mana?” kata Muchlas.
“Filosofi subsidi energi itu untuk mengurangi beban cost masyarakat miskin, termasuk untuk mendongkrak daya beli. Tapi masalahnya, subsidi itu tidak tepat guna, makanya dibentuk skema pengalihan subsidi BBM ke subsidi lain. Harusnya, mahasiswa memiliki kajian akademis bagaimana distribusi subsidi itu bisa tepat guna dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Menurut Muchlas, aksi protes mahasiswa dengan membawa isu-isu populis memang harus diapresiasi dan dihormati. Tetapi, jika demonstrasi hanya sebatas kepongahan intelektual, maka aspirasi hanya akan berakhir menjadi anarki.
“Predikat insan akademis mahasiswa sebagai clever majority harusnya juga menampilkan keadaban dan keilmuan. Sebelum menggelar demo, kelompok mahasiswa wajib melakukan pembacaan dan kajian secara komprehensif terhadap isu, sehingga di saat yang sama, mereka bisa secara bijak memutus: menolak atau mendukung,” kata dia.
Bagi Muchlas, bila demonstrasi hanya untuk poto selfi demi meramaikan tagar media sosial, maka usaha ini tak lebih sekadar ‘banalitas’. Apalagi, demonstrasi karena dasar ikut-ikutan dan seru-seruan. Hal tersebut, kata Muchlas, tak mencerminkan seorang well educated.
“Demonstrasi bukan untuk poto selfi. Demo adalah ekspresi paling tinggi setelah audiensi dan dialog untuk menyampaikan aspirasi. Ia bisa menjadi instrumen untuk mnegingatkan pemerintah, tetapi bukan dari kemacetan dan perusakan, tetapi dari lengkapnya kajian dan data yang kaya. Saya belum melihat ini pada demo BBM,” pungkas dia.
Sebagai informasi, Himpunan Aktivis Milenial Indonesia menggelar Webinar Nasional pada Kamis (15/9) siang. Seminar online bertajuk “Demonstrasi BBM oleh Mahasiswa: Parade Protes Demi Siapa?” dihelat melalui platform zoom dan dihadiri ratusan partisipan. Hadir sebagai pembicara dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Yogyakarta, Bernando J Sujibto, dan Sekjen HAM Indonesia, Muchlas J Samorano.