Oleh : Mahbub Junaidi (Ketua Dear Jatim Korda Sumenep
Opini | Demarkasi.co – Baru-baru ini publik Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur dikejutkan dengan viralnya sebuah berita terkait Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kalianget dan anggotanya yang tdiak profesional dalam menyikapi laporan peristiwa pidana di wilayah hukum setempat.
Kapolsek Kalianget dan anggotanya itu dituding telah melakukan perbuatan tercela karena menolak laporan korban penganiayaan yang ingin membuat laporan polisi.
Sontak saja hal tersebut menjadi buah bibir publik di kabupaten berlambang kuda terbang ini.
Karena laporan atau pengaduan pada dasarnya merupakan salah satu upaya bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas rasa adil.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 108 ayat 1 Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan;
“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik (Polisi)baik lisan maupun tertulis.“
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjamin, “Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” (Pasal 17).
Jadi laporan sifatnya adalah hak, sehingga negara yang direpresentasikan oleh para aparaturnya (termasuk polisi) senantiasa didudukan sebagai pemangku kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga.
Selain itu, Polri juga sudah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia.
Dimana dalam pasal 14 huruf a) dengan tegas menyatakan, “Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik dilarang: mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor atau pihak lain yang terkait dalam perkara, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal tersebut dikuatkan dengan pasal 15 yang menegaskan, “Setiap anggota Polri dilarang menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.”
Meski demikian, di Pasal 3 ayat (3) huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tidak Pidana mengatur: Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk:
b) Melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi.
Setelah dilakukan kajian awal, dibuat tanda penerimaan laporan dan laporan polisi.
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah menerima laporan/pengaduan tindak pidana, penyidik/penyidik pembantu akan melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya laporan/pengaduan tersebut untuk dibuatkan tanda penerimaan laporan dan laporan polisi.
Sehingga, secara hukum jika penyidik/penyidik pembantu berdasarkan hasil kajian awal menilai tidak layak dibuatkan laporan polisi, maka bisa saja laporan polisi tidak dibuat atas laporan/pengaduan yang diberikan.
Namun dalam memutuskan tidak dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan, penyidik yang bersangkutan harus memiliki alasan yang sah menurut hukum.
Misalnya laporan tidak bisa diterima karena tindak pidana tersebut merupakan delik aduan, sedangkan yang mengadukannya bukanlah orang yang berhak menurut hukum.
Kesimpulannya, ketentuan yang diketengahkan di dalam KUHAP, Perkapolri Nomor 14 tahun 2011 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM sudah sangat gamblang.
Tatkala memperoleh laporan atau pengaduan dari masyarakat, apalagi laporan atau pengaduannya bisa dipertanggungjawabkan, tidak mengada-ada dan tentu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, pada hakikatnya polisi tidak boleh menolak atau mengabaikannya.
Andai ada polisi yang menolak laporan masyarakat, sama saja oknum polisi tersebut melakukan pelanggaran Hukum Acara sekaligus pelanggaran kode etik profesi, dan lebih-lebih melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu hak atas rasa adil.