Opini  

Freedom For vs Freedom From

Freedom For vs Freedom From

Oleh Rausi Samorano
________________________

Sumenep | Demarkasi.co – Belakangan ini publik sumenep khususnya yang inten bergerak di ranah aktivisme disuguhi atraksi pagelaran saling lapor.

Saya teringat lelucon yang diperagakan oleh Aktor Andrey Taulani Cs dalam program  “Lapor Pak” yang ada di salah satu channel Televisi. Parodi pelaporan dalam berbagai “Case”  diperagakan dengan lucu dan kadang di luar konteks tema utama, ini menarik dan menghibur.

Lain lagi di dunia nyata bukan lagi Parodi tapi penegakan hukum dan proses penyelesaiannya dijadikan tontonan layaknya sinetron yang kadang “Ending” nya para penikmat sudah bisa menebak dengan celotehan “Nanti ujungya DAMAI“, dan tentu Sambil “Nyengir” kuda.

Walaupun perdamaian adalah harapan semua insan tapi perdamaian kadang sebagai kedok “Menghilangkan” perkara.  Bahkan ada kalanya  damai dijadikan landasan untuk menghentikan proses hukum semacam SP3. Walaupun dalam KUHAP tidak termasuk sebagai salah satu syarat penghentian  penyidikan dalam pidana umum/pidana biasa tapi ya ini sudah hampir lumrah dilakukan. Sehingga para penikmat macam saya tidak bisa menyaksikan episode akhir dari semua pertunjukan itu, karena ada penggalan scene yang sengaja di Sensor dan penggalan itu adalah yang paling ditunggu dan paling seru. Episode terakhir yang biasanya menentukan siapa yang salah, kalah dan siapa yang benar, menang.

Di Negara demokrasi seperti Indonesia orang bebas untuk melakukan apapun bebas untuk berbuat apapun dan bebas untuk memilih  sesuatu apapun  atau istilah kerennya “Freedom for“. Kebebasan adalah bagian dari hak asasi manusia akan tetapi kebebasan dibatasi dengan aturan, dan aturan ini yang membatasi kebebasan agar tidak berlebihan dan tidak barbar.  Karena kebebasan yang “Over free” dan tak dibatasi norma akan menimbulkan kekacauan, makanya kebebasan itu maknanya adalah bebas dan bertanggung jawab.

Freedom for” selalu harus diiringi dan disandingkan dengan “Freedom from“. Bebas dari. Setiap orang harus dijamin bebas dari kesewenang wenangan, bebas dari kedlaliman bebas dari kelaliman bebas dari ketidak adilan bebas dari teror bebas dari pemiskinan dan lain sebagainya.  Artinya kebebasan orang lain untuk melakukan sesuatu dibatasi oleh kebebasan orang lain untuk tidak mendapatkan perlakuan sesuatu. Inilah kenapa harus ada Peraturan, Norma dan etika dalam setiap kehidupan.

Jika kita tarik ke fenomina saling lapor yang sedang “Nge-tren” di Sumemep  narasi di atas mendapatkan legitimasi faktualnya.

Contoh yang sedang “Hit” ketika  Seorang aktifis dilaporkan oleh aktifis yang lain karena dianggap mencemarkan nama baiknya di medsos ada lagi seorang aktifis media dilaporkan karena dianggap menulis berita yang tidak benar dan pegiat media yang lain akan melapor narasumber yang dianggap memberikan informasi hoax dan keterangan palsu, kemudian terakhir saling lapor antara Seorang aktifis dengan aktifis yang juga Advokat. Kok jadi begini……? Bagian dari sinetron kah ???.

Sepanjang yang saya tahu Ketua Karang Taruna (Kartar) yang juga Aktifis LSM telah dilaporkan ke Polisi karena dianggap mencemarkan nama baik seseorang  padahal menurutnya sebagaimana diberitakan di salah satu media online saat aksi, Ketua Kartar tak mengatasnamakan Kartar Kabupaten.

Pun sebaliknya kemarin Ketua Kartar juga  melaporkan Pengacara Pelapor  karena dianggap telah mencemarkan nama baik Organisasinya. Beh….?!.

Advokat pelapor I (Terlapor II) sepertinya bersikukuh boleh melakukan serangkaian tindakan demi membela kliennya dan hal tersebut dilindungi Undang-undang. Ketua Kartar juga bersikeras membela diri karena dia menyampaikan pendapat di muka umum juga dilindungi Undang-undang.

Jika kita bingkai dengan teori Freedom For dan Freedom Of.  Kebebasan keduanya dibatasi oleh norma dan etika (Kode etik). Semua penegak hukum Hakim, Jaksa, polisi dan Advokat bekerja berdasarkan UU dan dilindungi UU, artinya ada Aturan yang secara lex Specialis mengatur tentang mereka. Akan tetapi semua jaminan perlindungan hukum tersebut diatur bersyarat.

Lalu kenapa kemudian banyak Hakim (Bahman Hakim Agung), Polisi (Bahkan Jenderal Polisi) Jaksa dan Pengacara tersangkut pidana tepat pada saat  melakukan pekerjaan profesionalnya ??? Kemana jaminan perlindungan hukumnya ?. Inilah yang disebut aturan bersyarat. Mereka akan dijamin dilindungi oleh UU dengan syarat mereka melakukan pekerjaannya secara profesional, jujur dan tidak melanggar aturan.

Bagaimana dengan Hak Imunitas Advokat (UU No.18 Tahun 2003). Advokat sebagai penegak hukum punya hak imunitas, artinya Advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat dituntut baik secara Pidana maupun Perdata baik didalam pengadilan maupun diluar pengadilan. Tapi hak imunitas itu bersyarat yaitu apabila dalam menjalankan profesinya Advokat Tidak melanggar UU, tidak melangkahi Kode etik profesi, punya itikat baik dan sedang dalam menjalankan tugas profesinya, jika melangkahi unsur syarat tersebut maka Hak imunitasnya bisa gugur.

Bagaimana dengan seseorang yang melakukan demontrasi ? . Demonstrasi adalah satu bagian dari kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Kalau ada yang tersinggung ???. tersinggung atas nama siapa dan karena apa ? Ini perlu didefinisikan bukan tiba-tina terbit el-pe. Jika memenuhi unsur ? Ya proses.

Jika penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU maka setiap orang yang  menyampaikan pendapat dimuka umum juga dilindungi undang-undang bahkan tertuang dalam konstitusi yang turunannya adalah UU No. 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Berpendapat Dimuka Umum, menyampaikan pendapat dimuka umum itu bisa Demo, orasi tunggal, puisi dan apapun dengan syarat Tidak Melanggar Hukum. Jadi senyampang mereka melakukan sesuai koridor hukum maka mereka tidak dapat dipidanakan dan atau dikriminalisasi. Jika melawan Hukum maka sama saja. Mau Advokat, Jaksa, hakim, polisi bahkan siapapun apalagi hanya orang biasa pasti akan DIGARAP oleh aturan.

Makanya kebebasanmu dibatasi olek kemerdekaan orang lain. So……Lanjut son.
———-
Guluk-Guluk, 15 Desember 2022